Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI
4/10/2019
Berikut ini adalah arsip berkas Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI. Download file format .pdf.
![]()  | 
| Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI | 
Baca juga beberapa berkas rekomendasi terkait dengan BK (Bimbingan Konseling):
Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) SMA
Contoh Silabus Prota Promes Bimbingan Konseling Kurikulum 2013 untuk SMA dan MA
Contoh Format Administrasi BK (Bimbingan Konseling)
Contoh RPL (Rencana Pelaksanaan Layanan) BK SMP Krikulum 2013
Contoh Program BK (Bimbingan Konseling) SMP Kurikulum 2013
Download Kumpulan Modul BK (Bimbingan dan Konseling)
Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Pendidikan pada Sekolah Dasar merupakan landasan penting dalam mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan oleh setiap peserta didik untuk menjadi pembelajar yang sehat, cakap, dan percaya diri, serta siap melanjutkan studi. Dalampenyelenggaraan program bimbingan dan konseling di sekolah dasar, guru bimbingan dan konseling atau konselor bekerja dalam tim bersama guru kelas, kepala sekolah, orangtua, dan masyarakat untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif dan berhasil.
Peserta didik  sekolah  dasar berada pada usia emas  perkembangan  dan  merupakan masa  membangun  pengalaman  belajar  awal  yang  bermakna.  Pada  usia  ini peserta  didik berada  pada  masa  peka  dalam  mengembangkan  seluruh  potensi  dan  kecerdasan  otak mencapai 80%. Guru bimbingan dan konseling atau konselor dan guru kelas/mata pelajaran memiliki peran penting untuk memberikan ransangan yang tepat sehingga sel-sel otak berkembang dan berfungsi secara optimal untuk mendukung kematangan semua aspek perkembangan. Perkembangan  yang optimal pada usia di Sekolah  Dasar menjadi fondasi yang kuat bagi perkembangan pada tahap-tahap berikutnya. Pengalaman belajar awal yang menyenangkan dan bermakna bagi anak mendorong anak untuk memahami fungsi belajar bagi dirinya dan memotivasi untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Pada saat  ini peserta  didik  hidup  dalam  masyarakat  semakin heterogen,  teknologi semakin canggih, dan kesempatan berkembang semakin luas. Peserta didik menghadapi tantangan-tantangan yang unik dan bervariasi, yang berdampak pada perkembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.  Untuk membantu peserta didik menjadi generasi penerus yang siap menghadapi kondisi tersebut, dibutuhkan dukungan orangtua, guru, guru bimbingan dan konseling atau konselor, serta orang-orang dewasa lain di sekitarnya.
Masa sekolah di Sekolah Dasar merupakan waktu yang baik bagi peserta didik untuk mengembangkan  konsep diri dan perasaan  mampu serta percaya diri sebagai pembelajar. Peserta didik mulai  mengembangkan  keterampilan  mengambil  keputusan, berkomunikasi, dan keterampilan hidup. Di samping itu, peserta didik juga mengembangkan dan menguasai sikap yang tepat terhadap sekolah, diri sendiri, teman sebaya, kelompok sosial, dan keluarga. 
Pelayanan   bimbingan   dan   konseling   merupakan   bagian   integral   dari   program pendidikan di sekolah yang seyogianya dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor yang memiliki kompetensi yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional  Nomor 27 Tahun  2008  tentang Standar Kualifikasi  Akademik dan Kompetensi Konselor. Kompetensi tersebut meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Idealnya setiap sekolah dasar memiliki guru bimbingan dan konseling atau konselor. Guru bimbingan dan konseling atau konselor saling bahu-membahu dengan guru kelas dan guru mata pelajaran dalam membantu peserta didik mencapai perkembangan optimal. Pada kondisi belum ada guru bimbingan dan konseling atau   konselor  dapat  ditugaskan   guru  kelas  terlatih  untuk  menyelenggarakan   layanan bimbingan dan konseling.
Guru bimbingan dan konseling atau konselor di Sekolah Dasar dapat diangkat dengan cakupan  tugas pada setiap  sekolah  atau  di tingkat  gugus  sekolah  untuk  membantu  guru mengembangkan  potensi  dan  mengentaskan  masalah  peserta  didik.  Guru bimbingan  dan konseling atau konselor di tingkat gugus berkantor di sekolah induk yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Dalam kondisi sekolah induk tidak memiliki ruang yang cukup, maka berkantor di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Pendidikan atau unit pendidikan yang setingkat (Permendikbud Nomor 111 Tahun 2014, Lampiran butir V.A).
Penyelenggaraan pendidikan yang bermutu dan efektif adalah mengintegrasikan tiga komponen sistem pendidikan yang meliputi komponen manajemen dan kepemimpinan, komponen pengajaran, serta komponen bimbingan dan konseling. Ketiga komponen tersebut memiliki wilayah garapan sendiri-sendiri yang saling melengkapi dalam upaya tercapainya tujuan  pendidikan  nasional.  Dalam  Peraturan  Menteri  Pendayagunaan  Aparatur  Negara Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya disebutkan bahwa jenis guru berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya meliputi guru kelas, guru mata pelajaran serta guru bimbingan dan konseling/konselor.
Penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar memiliki keunikan dibandingkan di SMP atau SMA/SMK. Dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan  Dasar dan  Pendidikan  Menengah  dinyatakan  bahwa pada satu Sekolah Dasar atau gugus/sejumlah  Sekolah Dasar dapat diangkat guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling. Posisi struktural untuk konselor belum ditemukan di Sekolah  Dasar. Namun demikian, peserta didik usia Sekolah  Dasar  memiliki  kebutuhan  layanan  sesuai  dengan  tingkat  perkembangannya sehingga  membutuhkan   layanan  bimbingan  dari  guru  bimbingan  dan  konseling  atau konselor meskipun berbeda dari ekspetasi kinerja konselor di jenjang sekolah Menengah. Sehingga, konselor juga dapat berperan secara produktif di jenjang Sekolah Dasar, bukan memosisikan diri sebagai fasilitator pengembangan diri peserta didik melainkan mungkin dengan  memosisikan  diri sebagai konselor kunjung yang membantu  guru Sekolah  Dasar mengatasi perilaku mengganggu.
Ketika  Sekolah  Dasar  tidak/belum  memiliki  guru  bimbingan  dan  konseling  atau konselor maka layanan bimbingan dan konseling dilakukan oleh guru kelas sehingga materi- materi bimbingan dan konseling dapat dipadukan dengan materi ajar melalui pembelajaran tematik.  Sesuai  dengan  Peraturan  Menteri  Pendidikan  Nasional  Nomor  35  Tahun  2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya bahwa untuk guru kelas, di samping wajib melaksanakan proses pembelajaran juga wajib melaksanakan  program  bimbingan  dan  konseling  terhadap  peserta  didik  di  kelas  yang menjadi tanggung jawabnya.
B.  Landasan Perundang-undangan
Landasan perundang-undangan dari penyusunan panduan ini, yaitu:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
 - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen;
 - 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan serta Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan;
 - Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 Tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa;
 - Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor;
 - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941);
 - Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang rogram Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan;
 - Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya;
 - Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan;
 - Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Kriteria Kelulusan Peserta didik dari Satuan Pendidikan dan Penyelenggaraan Ujian Nasional Sekolah/Madrasah/Pendidikan Kesetaraan dan Ujian Nasional;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 57 tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 62 tahun 2014 tentang Kegiatan Ekstrakurikuler pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 63 tahun 2014 tentang Kegiatan Kepramukaan sebagai kegiatan ekstra kurikuler wajib pada pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 tahun 2014 tentangPemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2015 Tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik dan Satuan Pendidikan pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah;
 - Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
 
C.  Hakikat Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan Konseling adalah upaya sistematis, objektif, logis, dan berkelanjutan serta terprogram yang dilakukan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli dalam mencapai kemandirian. Bimbingan dan   konseling   merupakan   komponen   integral   sistem   pendidikan   pada   suatu   satuan pendidikan   berupaya   memfasilitasi   dan   memandirikan   peserta   didik   dalam   rangka tercapainya perkembangan  individu secara utuh dan optimal. Sebagai komponen  integral, wilayah  bimbingan  dan  konseling  yang  memandirikan  secara  terpadu  bersinergi  dengan wilayah layanan administrasi  dan manajemen, serta wilayah  kurikulum dan pembelajaran yang mendidik.
Sebagai komponen sistem pendidikan, bimbingan dan konseling memfasilitasi perkembangan peserta didik/konseli untuk mencapai kemandirian, dalam wujud kemampuan memahami diri dan lingkungan, menerima diri, mengarahkan diri, dan mengambil keputusan, serta merealisasikan diri secara bertanggung jawab, sehingga tercapai kehidupan yang damai, berkembang, maju, sejahtera, bahagian dunia akherat. Pemetaan layanan bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan seperti tertera pada gambar 1, menampilkan dengan jelas kesejajaran antara posisi layanan bimbingan dan konseling dengan layanan manajemen dan kepemimpinan,   serta   layanan   pembelajaran   mata   pelajaran.   Artinya,   bimbingan   dan konseling tidak bersifat suplementer, tetapi komplementer  saling mengisi di antara peran pendidik pada satuan pendidikan.
Bimbingan dan konseling pada satuan pendidikan (SD, SMP, SMA, SMK) diselenggarakan  untuk  membantu  peserta  didik  dalam  mencapai  tugas-tugas perkembangannya. Tugas perkembangan ini diantaranya meliputi: mencapai hubungan persahabatan yang matang, mencapai peran sosial sesuai jenis kelaminnya, menerima kondisi fisiknya dan menggunakannya secara efektif, mencapai kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya, menyiapkan diri untuk hidup berumahtangga, menyiapkan diri untuk   karirnya,   mencapai   seperangkat   nilai   dan   sistem   etika   yang   membimbing tingkahlakunya, dan mencapai tingkahlaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.
Pada penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Dasar, guru bimbingan dan konseling atau  konselor berperan  membantu tercapainya  perkembangan  pribadi,  sosial, belajar, dan karir peserta didik. Pada satuan pendidikan ini, guru bimbingan dan konseling atau konselor menjalankan  semua fungsi bimbingan  dan  konseling,  yaitu  fungsi pemahaman,  fasilitasi, penyesuaian, penyaluran, adaptasi, pencegahan, perbaikan, advokasi, pengembangan, dan pemeliharaan. Meskipun guru bimbingan dan konseling atau konselor memegang peranan kunci  dalam  sistem  bimbingan  dan  konseling  di  sekolah,  dukungan  dari  kepala  sekolah sangat dibutuhkan. Sebagai penanggung jawab pendidikan di sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab terselenggarakannya layanan bimbingan dan konseling. Selain itu, guru bimbingan dan konseling atau konselor sekolah harus berkolaborasi dengan pemangku kepentingan lain seperti guru kelas, guru mata pelajaran, wali kelas, komite sekolah, orang tua peserta didik, dan pihak-pihak lain yang relevan. 
Layanan bimbingan dan konseling di sekolah diatur   dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 111 tahun 2014 tentang Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah beserta lampirannya.  Pasal 12 ayat 2 dan 3 Permendikbud tersebut  disebutkan bahwa perlu disusun panduan operasional yang dalam hal ini pada satuan pendidikan Sekolah Dasar. Penyiapan panduan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah Dasar merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga kepala sekolah,  guru  bimbingan  konseling  atau  konselor,  guru  kelas  dan  guru  mata  pelajaran memiliki  arah  yang jelas  dalam  menyelenggarakan  layanan  bimbingan  dan  konseling  di Sekolah Dasar.
D. Tujuan Penulisan Panduan
Panduan  opersional  ini  bertujuan  untuk  memberi  arah  penyelenggaraan  Bimbingan  dan Konseling di Sekolah Dasar. Secara khusus panduan ini bertujuan:
- memandu guru bimbingan dan konseling atau konselor dalam memfasilitasi dan memperhatikan ragam kemampuan, kebutuhan, dan minat sesuai dengan karakteristik peserta didik/konseli;
 - memfasilitasi guru bimbingan dan konseling atau konselor dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan melakukan tindaklanjut;
 - memberi acuan guru bimbingan dan konseling atau konselor dalam mengembangkan program layanan bimbingan dan konseling secara utuh dan optimal dengan memperhatikan hasil evaluasi dan daya dukung sarana dan prasarana yang dimiliki;
 - memandu guru bimbingan dan konseling atau konselor dalam menyelenggarakan bimbingan dan konseling agar peserta didik/konseli dapat mencapai perkembangan diri secara optimal, mandiri, sukses, sejahtera dan bahagia dalam kehidupannya;
 - memandu guru kelas dan guru mata pelajaran dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling;
 - memandu guru untuk bertanggung jawab terhadap tugas, mencintai tugas, dan mencintai peserta didik;
 - memberi acuan bagi pemangku kepentingan penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
 
E. Pengguna Panduan
Panduan ini diperuntukkan bagi pemangku kepentingan  layanan bimbingan dan konseling, yaitu:
1. Guru bimbingan dan konseling atau konselor
Guru bimbingan dan konseling atau konselor menyelenggarakan kegiatan bimbingan dan konseling berdasarkan panduan ini.
2. Guru Kelas dan Guru Mata Pelajaran
Guru kelas dan guru mata pelajaran menyelenggarakan  kegiatan layanan bimbingan dan konseling berdasarkan panduan ini.
3. Kepala Sekolah
Kepala Sekolah mendukung memfasilitasi penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling, mensupervisi, dan mengevaluasi layanan bimbingan dan konseling di sekolah masing-masing.
4. Dinas Pendidikan
Kepala Dinas Pendidikan memberikan kebijakan yang mendukung penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah.
5. Pengawas Sekolah
Pengawas  sekolah  mensupervisi  dan  membina penyelenggaraan  program  pendidikan  di sekolah, khususnya bimbingan dan konseling berdasarkan panduan ini.
6. Lembaga pendidikan yang menyiapkan calon guru bimbingan dan konseling atau konselor.
Lembaga pendidikan yang menyiapkan calon guru bimbingan dan konseling atau konselor mengembangkan   kurikulum  untuk  menyiapkan  guru  bimbingan  dan  konseling  atau konselor.
7. Organisasi Profesi Bimbingan dan Konseling
Organisasi   profesi   memberikan   dukungan   dalam   pengembangan   keprofesian   guru bimbingan dan konseling atau konselor 
8. Komite Sekolah
Komite    sekolah    memberikan    dukungan    kebijakan,    fasilitas    dan    dana    untuk penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling.
9. Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Jasmani dan Bimbingan dan Konseling (PPPPTK Penjas dan BK) menggunakan sebagai bahan sosialisasi, pelatihan, dan atau bimbingan teknis. 
BAB II
PEMAHAMAN KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK/KONSELI
Peserta didik/konseli adalah subyek utama layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Guru bimbingan dan konseling atau konselor perlu memahami karakteristik peserta didik/konseli sebagai  dasar  pertimbangan  dalam  merancang  dan  melaksanakan  layanan  bimbingan  dan konseling di sekolah. Oleh karena itu, pemahaman guru bimbingan dan konseling atau konselor, guru kelas dan guru mata pelajaran secara mendalam terhadap karakteristik peserta didik/konseli merupakan prasyarat yang harus dipenuhi guru bimbingan dan konseling atau konselor.
A. Karakteristik Peserta Didik/Konseli  di Sekolah Dasar
Karakteristik  peserta  didik  Sekolah  Dasar  (SD)  diartikan  sebagai  ciri-ciri  yang melekat pada peserta didik di sekolah dasar yang bersifat khas dan membedakannya dengan peserta didik pada satuan pendidikan lainnya. Karakteristik peserta didik Sekolah Dasar yang perlu dipahami meliputi aspek-aspek berikut.
1.  Aspek Fisik-Motorik
Perkembangan  fisik peserta didik usia Sekolah Dasar dicirikan dengan beragam variasi dalam pola pertumbuhannya.  Keberagaman  ini disebabkan  karena beberapa  hal seperti kecukupan  gizi,  kondisi  lingkungan,  genetika,  hormon,  jenis  kelamin,  asal  etnis, serta adanya penyakit yang diderita. Pada fase ini pertumbuhan fisik tetap berlangsung sehingga peserta didik menjadi lebih tinggi, lebih berat, lebih kuat. Seiring dengan pertumbuhan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan  motorik peserta didik sudah dapat terkoordinasi  dengan  baik.  Setiap  gerakannya  sudah  selaras  dengan  kebutuhan  atau minatnya,  dapat  menggerakan  anggota  badannya  dengan  tujuan  yang jelas, seperti  (1) menggerakan tangan untuk menulis, menggambar, mengambil makanan, serta melempar bola; dan (2) menggerakan kaki untuk menendang bola dan lari mengejar teman pada saat main kucing-kucingan. Fase atau usia sekolah dasar (7 – 12 tahun) ditandai dengan gerak atau aktivitas motorik yang lincah. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar keterampilan  yang berkaitan dengan motorik, baik motorik halus maupun motorik kasar. 
2. Aspek Kognitif
Pada usia sekolah dasar, peserta didik sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual, atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemampuan intelektual atau kemampuan  kognitif (seperti: membaca, menulis, dan menghitung  atau CALISTUNG). Sebelum  masa ini, yaitu  masa prasekolah  (usia Taman Kanak-kanak),  daya pikir anak masih bersifat  imajinatif, berangan-angan  atau berkhayal, sedangkan  pada usia sekolah dasar daya pikirnya sudah berkembang ke arah berpikir kongkrit dan rasional. Dilihat dari aspek perkembangan kognitif, menurut Piaget masa ini berada pada tahap operasi kongkrit, yang ditandai dengan kemampuan (1) mengklasifikasikan (mengelompokkan) benda-benda berdasarkan  ciri yang sama, (2) menyusun atau mengasosiasikan  (menghubungkan  atau menghitung) angka-angka atau bilangan, dan (3) memecahkan masalah (problem solving) yang sederhana. Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikannya  berbagai  kecakapan  yang  dapat  mengembangkan  pola  pikir  atau  daya nalarnya. Kepada anak sudah dapat diberikan dasar-dasar keilmuan, seperti membaca, menulis,  dan  berhitung  (CALISTUNG).  Pada  usia  11  tahun  tahapan  perkembangan kognitif memasuki tahap operasional formal ditandai dengan mampu berpikir abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.
Di samping itu, kepada anak juga sudah dapat diberikan dasar-dasar pengetahuan yang  terkait  dengan  kehidupan  manusia,  hewan,  lingkungan  alam,  lingkungan  sosial budaya, dan agama. Untuk mengembangkan  daya nalarnya, daya cipta, atau kreativitas anak, maka kepada anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya, berpendapat, atau menilai (memberikan kritik) tentang berbagai hal yang terkait dengan pelajaran, atau peristiwa yang terjadi di lingkungannya.
3. Aspek Sosial
Perkembangan sosial peserta didik usia SD ditandai dengan adanya perluasan hubungan, di samping dengan  para anggota keluarga, juga dengan  teman sebaya (peer group),  sehingga ruang gerak hubungan  sosialnya telah bertambah  luas. Pada usia SD, anak  mulai  memiliki  kesanggupan  menyesuaikan  diri  dari  sikap  berpusat  kepada  diri sendiri (egosentris) kepada sikap bekerjasama (kooperatif) atau mau memperhatikan kepentingan  orang lain (sosiosentris).  Anak mulai berminat  terhadap  kegiatan bersama teman   sebaya,   dan  bertambah   kuat  keinginannya   untuk  diterima   menjadi   anggota kelompok (gang), merasa tidak senang apabila ditolak oleh kelompoknya dan dapat menyesuaikan  dirinya dengan  kelompok  teman sebaya maupun  lingkungan  masyarakat sekitarnya. Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan  tenaga fisik (seperti membersihkan  kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti merencanakan kegiatan berkemah dan membuat laporan  study  tour).  Tugas-tugas  kelompok  ini  harus  memberikan  kesempatan  kepada setiap peserta didik untuk menampilkan prestasinya, dan juga diarahkan untuk mencapai tujuan bersama. Dengan melaksanakan tugas kelompok, peserta didik dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.
4. Aspek Emosi
Pada usia Sekolah Dasar (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, dan 6), anak mulai menyadari bahwa pengungkapan  emosi secara kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Anak SD belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan). Dalam proses peniruan, kemampuan orangtua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Sebaliknya apabila kebiasaan orangtua atau guru dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang kontrol (seperti: marah-marah,  mengeluh),  maka perkembangan  emosi anak, cenderung  kurang stabil atau tidak sehat.
Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar. Emosi positif seperti: perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi akan mempengaruhi individu untuk mengkonsentrasikan dirinya terhadap aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru,  membaca  buku,  aktif  berdiskusi,  mengerjakan  tugas  atau  pekerjaan  rumah,  dan disiplin dalam belajar. Sebaliknya, apabila emosi yang menyertai proses belajar itu emosi negatif,  seperti  perasaan  tidak  senang,  kecewa,  maka  proses  belajar  tersebut  akan mengalami hambatan, dalam arti individu tidak dapat memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan  besar dia akan mengalami  kegagalan  dalam belajarnya. 
Mengingat  hal  tersebut,  maka  guru  Sekolah  Dasar  seyogianya  mempunyai  kepedulian untuk menciptakan suasana proses belajar-mengajar yang menyenangkan atau kondusif.
5. Aspek Moral
Penalaran  moral,  yang  merupakan  dasar  dari  perilaku  etis.  Peranan  lingkungan terutama lingkungan  keluarga sangat dominan dalam perkembangan  aspek moral. Pada mulanya anak melakukan perbuatan bermoral dari meniru (mengamati) kemudian menjadi perbuatan atas prakarsa sendiri karena adanya kontrol atau pengawasan dari luar, namun kemudian berkembang karena kontrol dari dalam dirinya.
Sampai usia 7 tahun, anak mulai memasukkan nilai-nilai keluarga ke dalam dirinya. Apa yang penting bagi orang tua juga akan menjadi penting baginya. Di sinilah orang tua dapat mengarahkan  perilakunya, sehingga sesuai dengan  aturan dalam keluarga. Dalam tahap inilah seorang anak mulai memahami bahwa apa yang mereka lakukan akan mempengaruhi orang lain.
Pada usia 7-10 tahun, campur tangan orang dewasa (orangtua, guru, dan sebagainya) tidak lagi terlalu ‘menakutkan’ buat anak. Anak mengetahui bahwa orang tua adalah sosok yang   harus   ditaati,   tetapi   anak   juga   tahu   bahwa   jika   melanggar   aturan   harus memperbaikinya. Perasaan bahwa ‘ini benar’ dan ‘itu salah’ sudah mulai tertanam kuat dalam diri anak. Anak usia ini juga mulai memilah mana saja perilaku yang akan mendatangkan ‘keuntungan’ buat mereka.
6. Aspek Religius
Kepercayaan anak kepada Tuhan pada usia ini, bukanlah keyakinan hasil pemikiran, akan tetapi merupakan sikap emosi yang berhubungan erat dengan kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan perlindungan. Oleh karena itu dalam mengenalkan Tuhan kepada anak, sebaiknya ditonjolkan sifat-sifat pengasih dan penyayang. Sampai kira-kira usia 10 tahun, ingatan anak masih bersifat mekanis, sehingga kesadaran beragamanya hanya merupakan hasil  sosialisasi  orang  tua,  guru,  dan  lingkungannya.  Oleh  karena  itu  pengamalan ibadahnya masih bersifat peniruan, belum dilandasi kesadarannya. Pada usia 10 tahun ke atas, semakin bertambah kesadaran anak akan fungsi agama baginya, yaitu berfungsi moral dan sosial. Anak mulai dapat menerima bahwa nilai-nilai agama lebih tinggi dari nilai-nilai pribadi atau nilai-nilai keluarga. Anak mulai mengerti bahwa agama bukan kepercayaan pribadi atau keluarga, tetapi kepercayaan masyarakat. 
Periode usia Sekolah Dasar merupakan masa pembentukan nilai-nilai agama sebagai kelanjutan periode sebelumnya.  Kualitas keagamaan anak sangat dipengaruhi oleh proses pembentukan  atau pendidikan  yang diterimanya.  Oleh karena itu, pendidikan  agama di Sekolah  Dasar harus  menjadi  perhatian    semua pihak  yang  terkait,  bukan hanya  guru agama  tetapi   juga  kepala   sekolah   dan   guru-guru   lainnya.   Apabila  pendidik   telah memberikan suri tauladan kepada anak dalam mengamalkan agama maka pada diri anak akan berkembang sikap yang positif terhadap terhadap agama, dan pada gilirannya akan berkembang pula kesadaran beragamanya.
B. Tugas Perkembangan Peserta Didik/konseli  Sekolah Dasar
Tugas perkembangan adalah serangkaian tugas yang harus diselesaikan peserta didik/konseli pada periode kehidupan/fase perkembangan tertentu. Tugas perkembangan bersumber dari kematangan fisik dan psikis, tuntutan masyarakat atau budaya dan nilai-nilai serta aspirasi individu. Keberhasilan peserta didik/konseli menyelesaikan tugas perkembangan membuat   mereka   bahagia   dan   akan   menjadi   modal   bagi   penyelesaian   tugas-tugas perkembangan fase berikutnya mengarah pada kondisi kehidupan yang damai, berkembang, maju, sejahtera, dan bahagia dunia akherat. Sebaliknya, kegagalan peserta didik/konseli menyelesaikan  tugas perkembangan  membuat  mereka kecewa dan  atau diremehkan  orang lain.  Kegagalan  ini  akan  menyulitkan/menghambat  peserta  didik/konseli  menyelesaikan tugas-tugas perkembangan fase berikutnya.
Tugas perkembangan merupakan salah satu aspek yang harus dipahami guru bimbingan dan  konseling  atau  konselor  karena  pencapaian  tugas  perkembangan  merupakan  sasaran layanan bimbingan dan konseling. Layanan bimbingan dan konseling merupakan salah satu bentuk fasilitasi peserta didik/konseli mencapai tugas-tugas perkembangan. Tugas-tugas perkembangan peserta didik/konseli Sekolah Dasar adalah: 1) Memiliki kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 2) Mengembangkan ketrampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung; 3) Mengembangkan kata hati, moral, dan dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku; 4) Mempelajari keterampilan fisik sederhana; 5) belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok sebaya; 6) Belajar menjadi pribadi yang mandiri dan dapat mengendalikan diri; 7) Membangun hidup yang sehat mengenai diri sendiri dan lingkungan;  8)  Mengembangkan  konsep-konsep  hidup  yang  perlu  dalam  kehidupan;  9) 
Belajar menjalani peran sosial sesuai dengan jenis kelamin; 10) Memilih sikap hidup terhadap kelompok dan lembaga-lembaga sosial (Kartadinata dkk., 2002).
C. Keterkaitan Tugas Perkembangan dan Standar Kompetensi Kemandirian Peserta Didik
Tugas perkembangan peserta didik/konseli yang telah teridentifikasi sebelumnya perlu dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk standar kompetensi. Dalam layanan bimbingan dan konseling,   standar   kompetensi   tersebut   dikenal   dengan   istilah   Standar   Kompetensi Kemandirian  Peserta Didik (SKKPD). Berbagai aspek perkembangan yang terdapat dalam SKKPD  pada dasarnya  dirujuk dari  tugas  perkembangan  yang akan  dicapai  oleh  peserta didik/konseli  dan  Standar  Kompetensi  Lulusan  (SKL)  tingkat  Satuan  Pendidikan  SD. 
Aspek-aspek perkembangan dalam SKKPD selanjutnya menjadi rumusan kompetensi yang dirujuk oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor dalam mempersiapkan rancangan pelaksanaan dari berbagai kegiatan layanan bimbingan dan konseling. Rumusan kompetensi  tersebut  dikembangkan  lebih  rinci  menjadi  tugas-tugas  perkembangan  yang harus dicapai oleh peserta didik/konseli dalam berbagai tataran internalisasi tujuan, yaitu pengenalan, akomodasi, dan tindakan.
Yang dimaksud dengan tataran internalisasi tujuan, yaitu: 1) pengenalan, untuk membangun  pengetahuan  dan  pemahaman  peserta  didik/konseli  terhadap  perilaku  atau standar kompetensi yang harus dipelajari dan dikuasai; 2) akomodasi, untuk membangun pemaknaan, internalisasi, dan menjadikan perilaku atau kompetensi baru sebagai bagian dari kemampuan dirinya; dan 3) tindakan, yaitu mendorong peserta didik/konseli untuk mewujudkan perilaku dan kompetensi baru itu dalam tindakan nyata sehari-hari. 
D. Teknik-teknik Pemahaman Peserta Didik/Konseli
Pemberian layanan bimbingan dan konseling harus didasari  pemahaman terhadap peserta didik.   Untuk   memahami   peserta   didik,   perlu   dilakukan   pengumpulan   data   dengan menggunakan  aplikasi instrumentasi.  Aplikasi instrumentasi dapat dikelompokkan  menjadi tes dan non tes.
1. Teknik tes
Teknik tes merupakan teknik untuk memahami individu dengan menggunakan instrumen tes terstandar. Guru bimbingan dan konseling atau konselor yang telah memiliki lisensi melalui pelatihan sertifikasi tes (misalnya yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri   Malang   bekerjasama   dengan   ABKIN)   dapat   melakukan   tes   menggunakan instrumen yang telah dipelajari. Guru bimbingan dan konseling atau konselor hendaknya mampu memahami hasil tes, menginterpretasikan dan menyusun rekomendasi berdasarkan hasil tes.
Hasil tes yang lazim digunakan untuk keperluan bimbingan dan konseling antara lain hasil tes kecerdasan, tes bakat, tes minat, tes kepribadian, tes kreativitas, dan tes prestasi belajar. Guru bimbingan dan konseling atau konselor hendaknya dapat memanfaatkan hasil tes untuk keperluan bimbingan dan konseling.
2. Teknik non tes
Teknik non tes merupakan teknik untuk memahami individu dengan  menggunakan instrumen yang terstandar dan tidak standar. Guru bimbingan dan konseling atau konselor dapat menggunakan instrumen non tes yang telah terstandar misalnya ITP (Inventori Tugas Perkembangan),  AUM  (Alat  Ungkap  Masalah),  DCM  (Daftar  Cek  Masalah),  atau instrumen yang dikembangkan sendiri, seperti instrumen: motivasi belajar, sosiometri, identifikasi masalah-masalah (pribadi-sosial-belajar-karir) dan tingkat stress. Untuk menyusun instrumen non tes ini ditempuh langkah-langkah sebagaimana pengkonstruksian instrumen tes. Adapun langkah-langkah pengembangan meliputi: menetapkan tujuan pengungkapan data pribadi, menentukan aspek dan atau dimensi yang diukur, merumuskan definisi operasional, memilih cara pengukuran yang digunakan, merumuskan manual penggunaan instrumen, penyekoran dan pengolahan, serta interpretasinya dan instrumen dan lembar jawaban.
Sementara itu, apabila pada satu sekolah atau gugus tidak ada guru bimbingan dan konseling atau konselor, maka layanan bimbingan dilakukan oleh guru kelas. Kewajiban melaksanakan  program  bimbingan  dan  konseling  terhadap  peserta  didik  di kelas  yang menjadi  tanggung  jawabnya,  guru  kelas  perlu  memahami  karakteristik  peserta  didik melalui teknik-tehnik yang sederhana dan mudah digunakan. Hasil pemahaman terhadap kondisi peserta didik  dapat dianalisis  sebagai dasar kebutuhan  layanan  bimbingan  dan konseling. Adapun data dan teknik pengumpulan  data yang dapat digunakan oleh guru kelas meliputi:
a.  Hasil belajar
Melalui pengumpulan hasil belajar akan diperoleh data tentang prestasi belajar peserta didik. Hasil belajar diperoleh dari tes hasil belajar yang dilakukan oleh guru. 
b. Observasi
Observasi  merupakan  teknik  untuk  mengamati  suatu  keadaan  atau  perilaku  yang tampak. Untuk melakukan observasi perlu disusun pedoman observasi, sebagai acuan melakukan   pengamatan.   Data  yang  dapat  diperoleh  melalui  observasi  misalnya: hubungan sosial, aktivitas belajar, kedisiplinan, dan keterlibatan dalam memelihara kebersihan lingkungan kelas atau sekolah.
c. Wawancara
Wawancara  merupakan  teknik  mengumpulkan  data  melalui  komunikasi  langsung dengan responden, dalam hal ini bisa peserta didik, orang tua, teman-teman atau orang lain yang diminta keterangan tentang peserta didik. Dalam melakukan wawancara, perlu disiapkan  pedoman  wawancara  yang  berisikan  pertanyaan-pertanyaan  sesuai  dengan data  yang  diperlukan.  Data  yang  dapat  diperoleh  melalui  wawancara  misalnya: hubungan teman sebaya, kebiasaan belajar di rumah, interaksi dan komunikasi dalam keluarga, kegemaran bermain game.
d. Angket
Angket merupakan alat pengumpul data dengan cara menyebarkan serangkaian pertanyaan  tertulis  yang harus dijawab  secara  tertulis  pula. Angket  ini berisi daftar pertanyaan yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan  dengan  responden  (peserta  didik).  Data  yang  diperoleh  melalui  angket misalnya: motivasi belajar, kebiasaan belajar, identitas diri dan keluarga, riwayat kesehatan.
e. Studi dokumentasi
Studi  dokumentasi  merupakan  teknik  pengumpulan  data  melalui  dokumen  tertulis maupun elektronik terkait dengan peserta didik. Dokumen itu misalnya raport, catatan prestasi, buku penghubung, legger, keterangan tentang keluarga, dan sebagainya.
f. Catatan anekdot
Catatan  anekdot  adalah  kumpulan  catatan  yang  dilakukan  secara  insidentil  tentang perilaku atau peristiwa khusus yang ditunjukkan atau dilakukan peserta didik.
Peserta   didik   merupakan    individu   yang   sedang   berkembang   sesuai   tahap perkembangan, berada dalam lingkungan pendidikan dan lingkungan kehidupan sehingga mengalami perubahan perilaku baik akademik maupun non akademik. Implikasinya untuk memahami peserta didik perlu mengumpulkan  data secara terus menerus sehingga data yang diperoleh selalu terbaharui.
Informasi-informasi yang diperoleh dari berbagai instrumen diolah sesuai prosedur (langkah-langkah) sehingga menjadi data untuk ditafsirkan dan dimanfaatkan untuk memahami peserta didik. Data tersebut diarsipkan dalam kelompok jenis data sehingga menjadi himpunan data yang mudah akses. Himpunan data yang lengkap dan selalu diperbaharui akan sangat membantu keterlaksanaan layanan bimbingan dan konseling maupun layanan pendidikan di sekolah.
E. Pemanfaatan Data  Hasil Asesmen untuk  Memahami Peserta Didik/Konseli
Data hasil pemahaman terhadap karakteristik peserta didik/konseli dapat digunakan oleh guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk:
1. Membuat profil individual setiap peserta didik/konseli.
Berdasarkan data hasil asesmen maka setiap peserta didik/konseli dapat disusun profil yang menggambarkan tentang identitas diri peserta didik, karakteristik tugas perkembangan, klasifikasi kecerdasan, bakat, minat, motivasi belajar, kesiapan belajar, kemampuan hubungan sosial,  kematangan emosi,  prestasi akademik dan non akademik yang dimiliki, latar belakang keluarga-sekolah-masyarakat dan lain-lain, serta gambaran tentang kelebihan dan kelemahan setiap peserta didik/konseli.
2. Membuat profil kelas.
Berdasarkan data individual peserta didik/konseli tersebut, maka dikembangkan profil kelas,   sehingga   tiap   kelas   memiliki   profilnya   sendiri-sendiri.   Profil   sebaiknya dituangkan ke dalam bentuk matrik, misalnya dalam format landscape excel, atau dalam bentuk grafik sehingga semua data dapat dimasukkan. Dengan profil kelas ini dapat diketahui kedudukan peserta didik/konseli dalam kelasnya. Profil akan menggambarkan variasi kebutuhan layanan bimbingan dan konseling yang meliputi: bimbingan dan konseling pribadi, sosial, belajar, dan karir.
3. Menyusun rancangan program layanan bimbingan dan konseling.
Berdasarkan profil individual dan kelas disusun rancangan program layanan bimbingan dan konseling. Aktivitas bimbingan dan konseling dirancang untuk dilakukan oleh guru bimbingan  dan  konseling  atau  konselor  dengan  berkolaborasi  dengan  staf  sekolah lainnya terutama guru kelas. Rancangan program menjadi panduan bagi guru bimbingan dan konseling atau konselor untuk melaksanakan layanan bimbingan dan konseling.
Sementara itu, apabila guru kelas yang melakukan pemahaman karakteristik peserta didik, maka data hasil pemahaman karakteristik peserta didik tersebut dapat digunakan oleh guru kelas untuk:
- Memadukan materi bimbingan dan konseling (termasuk bimbingan karir) dalam proses pembelajaran sesuai tema.
 - Memilih metode dan media pembelajaran sesuai dengan karakteristik peserta didik.
 - Melakukan remedial teaching berdasarkan data kesulitan belajar.
 - Memperlakukan peserta didik sesuai dengan keunikannya masing-masing (pendidikan inklusif).
 - Membangun komunikasi yang empatik dengan peserta didik.
 - Menampilkan diri sebagai role model bagi peserta didik dalam berakhlak mulia.
 - Memberikan apresiasi dan penguatan kepada peserta didik yang berprestasi.
 - Mengidentifikasi, mendiagnosa, menentukan alternatif bantuan yang mungkin dilakukan serta memberikan bantuan pada peserta didik yang memiliki masalah.
 - Melakukan referal atau alih tangan untuk penyelesaian masalah peserta didik kepada ahli yang lebih berwenang.
 
Download Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI
Selengkapnya mengenai susunan dan isi berkas Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI ini silahkan lihat pada file preview dan download file  pada link di bawah ini:    
Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI
Download File:
Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD, DITJEN GTK.pdf
Demikian yang bisa kami sampaikan mengenai keterangan berkas dan share file Panduan Operasional Penyelenggaraan BK (Bimbingan dan Konseling) untuk SD MI. Semoga bisa bermanfaat.
